Keperibadian

Jalan Menuju Taqwa

Takwa merupakan sumber segala kebaikan dalam masyarakat, sebagai satu-satunya cara untuk mencegah kerosakan, kejahatan dan perbuatan dosa. Bahkan, takwa merupakan tiang utama dalam pembinaan jiwa dan akhlak seseorang dalam rangka menghadapi fenomena kehidupan. Agar ia dapat membezakan mana yang baik dan mana yang buruk dan agar ia bersabar atas segala ujian dan cubaan. Itulah hakikat takwa dan itulah pengaruhnya  yang sangat memberi kesan dalam pembentukan peribadi seorang insan.

 Jalan Mencapai Takwa

Di sini cukuplah kita mengutarakan faktor-faktor terpenting yang dapat menyuburkan takwa, mengukuhkannya di dalam hati dan jiwa seseorang Mukmin, dan menyatukannya dengan perasaan, semoga kita dapat mengikuti jejak menuju takwa.

Pertama: Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)

Kalimah ini diambil daripada firman Allah Yang Maha Tinggi:

وَأَوۡفُواْ بِعَهۡدِ ٱللَّهِ إِذَا عَٰهَدتُّمۡ

 “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji…”

[An-Nahl: 91]

Cara Mu’ahadah

Hendaklah seorang Mukmin berkhalwat (menyendiri) antara dia dan Allah Subhanahuwata’ala untuk mengintrospeksi diri seraya berkata kepada dirinya:

Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri di dalam solat membaca:

“Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon bantuan.”

Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat ini engkau telah berikrar tidak akan menghambakan diri kepada selain Dia. Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komited kepada siratal mustaqim (jalan yang lurus). Tidakkah engkau telah berikrar untuk berpaling daripada jalan orang-orang yang sesat dan dimurkai Allah?

 Kalau memang demikian, hati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah engkau jadikan Dia sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur daripada jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah Subhanahuwata’ala   sebagai saksimu. Hati-hatilah jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Dia sebagai penunjuk jalan. 

 Hati-hati wahai jiwaku, jangan engkau engkar setelah beriman, jangan tersesat setelah engkau mendapatkan petunjuk, janganlah engkau menjadi fasik setelah beriltizam (komited). Barang siapa melanggarinya, maka akibatnya akan menimpa dirinya, barangsiapa tersesat maka kesesatannya itu akan menimpanya. 

 “Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain. Dan Kami (Allah) tidak akan menurunkan azab kecuali setelah mengutus seorang utusan (Rasul).”

Wahai saudaraku, bila anda mengharuskan diri untuk berpegang dan iltizam (komited) terhadap janji yang diikrarkan tidak kurang 17 kali dalam sehari itu, maka anda telah meniti tangga menuju takwa, anda sudah menyusuri jalan rohani, dan pada akhirnya anda akan sampai ke tempat tujuan, yakni ke darjat para muttaqin (orang yang bertakwa).

Kedua: Muraqabah (Merasakan Kehadiran Allah Subhanahuwata’ala  )

 Dasar muraqabah dapat anda temukan dalam surah Asy-Syura, iaitu firman Allah Subhanahuwata’ala:

ٱلَّذِي يَرَىٰكَ حِينَ تَقُومُ ٢١٨  وَتَقَلُّبَكَ فِي ٱلسَّٰجِدِينَ ٢١٩

 “Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk solat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.”

[Asy-Syu’ara’: 218-219]

Dalam sebuah hadis, ketika nabi SAW ditanya tentang ihsan, baginda menjawab:

“Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu.”

Makna Muraqabah

Muraqabah sebagaimana diisyaratkan oleh al-Quran dan hadits, ialah – Merasakan keagungan Allah Azza Wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kehadiran-Nya dikala bersendirian ataupun dikhalayak ramai.

Cara Muraqabah

Sebelum memulai sesuatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang Mukmin memeriksa dirinya, apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan peribadi dan mencari populariti, ataukah kerana dorongan redha Allah Subhanahuwata’ala dan menghendaki pahala-Nya?

Jika benar-benar kerana redha Allah Subhanahuwata’ala, maka teruskanlah melaksanakannya walaupun hawa nafsunya tidak setuju dan ingin meninggalkannya. Kemudian teguhkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari redha Allah Subhanahuwata’ala.

Itulah hakikat ikhlas. Itulah hakikat kebebasan diri daripada penyakit nifa’ dan riya’. Iman Hasan al-Basri berkata:

“Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang hamba yang selalu mempertimbangkan niatnya. Bila semata-mata kerana Allah Subhanahuwata’ala, maka dilaksanakannya tetapi jika sebaliknya maka ditinggalkannya.”

Bentuk-bentuk Muraqabah

Ada beberapa bentuk muraqabah:

  • Muraqabah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya.
  • Muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total.
  • Muraqabah dalam hal-hal yang mubah (harus) adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah Subhanahuwata’ala dan bersyukur di atas segala nikmat-Nya.
  • Muraqabah dalam musibah adalah dengan redha kepada ketentuan Allah Subhanahuwata’ala serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.

Saudaraku, sekiranya anda telah bermuraqabah kepada Allah Subhanahuwata’ala dengan tingkat muraqabah yang telah dinyatakan, kemudian anda dapat tetap melaksanakannya (konsisten), maka tidak syak lagi bahawa anda telah meniti tangga menuju takwa. Anda sudah menapaki jalan rohani. Dan pada akhirnya anda akan sampai ke darjat para muttaqin yang mulia.

Ketiga: Muhasabah (Introspeksi diri)

Dasarnya terkandung di dalam Al-Quran:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ١٨

 “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

[Al-Hasyr: 18]

Makna muhasabah sebagaimana diisyaratkan oleh ayat ini ialah- Hendaknya seorang Mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan. Apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha Allah Subhanahuwata’ala atau apakah amalnya dicemari sifat riya’?

Ketahuilah, seorang Mukmin setiap pagi hendaklah mewajibkan diri untuk memperbaiki niat, melaksanakan ketaatan, memenuhi segala kewajipan, dan membebaskan diri daripada riya’. Demikian juga dipetang hari, semestinya dikhususkan waktu untuk bersendirian dengan dirinya untuk memperhitungkan semua yang telah dilakukan. Apabila yang dilakukannya itu kebaikan, maka hendaklah memanjatkan puji syukur kepada-Nya atas taufik-Nya, seraya memohon keteguhan dan tambahan kebaikan. Apabila yang dilakukan itu bukan kebaikan, maka hendaklah ia bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, seraya menyesal, memohon ampun, berjanji untuk tidak mengulangi serta memohon perlindungan dan husnal khatimah kepada-Nya.

Semoga Allah Subhanahuwata’ala meredhai Umar al-Faruq Radhiallahu’anhu yang berkata:

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari Kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”

Saudaraku, jika saudara telah menghisab diri dalam urusan yang besar maupun yang kecil, dan berusaha keras melakukan khalwat di malam hari dengan Allah Subhanahuwata’ala untuk melihat apa yang akan dipersembahkan pada hari Kiamat kelak, maka saudara telah melangkah menuju takwa dan menapaki perjalanan rohani bahkah akhirnya saudara akan sampai ke darjat para muttaqin.

Keempat: Mu’aqobah (Menghukum )

Asas bagi mu’aqobah adalah firman Allah Azza Wa Jalla:

وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩

“Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

[Al-Baqarah: 179]

Hukuman yang dimaksudkan sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat tersebut adalah – Apabila seorang Mukmin melakukan kesalahan, maka tidak wajar baginya membiarkannya. Sebab membiarkan sesuatu kesalahan berlalu tanpa melakukan apa-apa akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan menjadikan sukar untuk ditinggalkan. Sepatutnya dia memberikan hukuman kepada dirinya dengan hukuman yang mubah (harus) sebagaimana memberikan hukuman atas isteri dan anak-anaknya. Ini adalah agar ia menjadi peringatan bagi dirinya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.

Hukuman ini harus dengan sesuatu yang mubah, tidak boleh dengan sesuatu yang haram, seperti membakar salah satu anggota tubuh, mandi di tempat terbuka pada musim dingin, meninggalkan makan dan minum sampai membahayakan diri dan sebagainya. Hukuman-hukuman ini dan yang sepertinya adalah haram hukumnya sebab termasuk dalam larangan yang tercantum dalam Al-Quran:

وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ

“..dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

[Al-Baqarah: 195]

وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩

“..dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

[An-Nisa: 29]

Generasi salaf yang soleh telah memberikan teladan kepada kita tentang ketakwaan, muhasabah, menjatuhkan hukuman pada diri sendiri jika bersalah dan bertekad untuk lebih taat jika mendapati dirinya lalai atas kewajipan. Berikut ini diutarakan beberapa contoh:

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan solah Asar. Maka beliau berkata: “Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah solah Asar! Kini kebunku aku jadikan sedekah untuk orang-orang miskin.” Menanggapi masalah ini, al-Laits berkata; “Padahal beliau hanya ketinggalan solah berjemaah!”

Satu ketika, Umar Radhiallahu’anhu pernah disibukkan oleh suatu urusan sehingga waktu Maghrib lewat sampai muncul dua bintang. Maka setelah melaksanakan solat Maghrib, beliau memerdekakan dua orang hamba.

Ada baiknya bila setiap Mukmin mengikuti jejak generasi salaf dalam muhasabah diri dan menjatuhkan hukuman apabila dia menemui kelalaian dalam memikul tanggunggjawab atau meninggalkan kewajiban terhadap Allah Subhanahuwata’ala dan sesama manusia. Misalnya dengan menginfakkan sejumlah wang tatkala meninggalkan solah berjemaah, ataupun dengan mengerjakan beberapa rakaat solah sunat.

Jika seorang Mukmin sudah biasa menjatuhkan hukuman kepada dirinya ketika melakukan kesalahan, maka dia telah melangkah menuju takwa, dan telah menapaki jalan ketinggian rohani, dan dengan pasti dia akan sampai ke darjat orang-orang yang bertakwa.

Kelima: Mujahadah (Melawan Dorongan Nafsu)[1]

Dasar mujahadah adalah firman Allah Subhanahuwata’ala di dalam Al-Quran:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keredhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

 [Al-Ankabut: 69]

Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang Mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunat lebih banyak daripada sebelumnya. Dalam hal ini, harus tegas, serius dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.

Dalam hal ini, cukuplah Rasulullah Sallallahu’alaihiwsallam menjadi qudwah (contoh ikutan) yang patut diteladani sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Radhiallahu’anhu (antara lain):

“Rasulullah Sallallahu’alaihiwsallam melakukan solat malam hingga kedua tumitnya bengkak. Ketika Aisyah Radhiallahu’anhu bertanya: “Mengapa engkau lakukan hal itu? Bukankah Allah sudah mengampuni dosamu yang sudah lalu dan yang akan datang? Rasulullah Sallallahu’alaihiwsallam menjawab: “Bukankah seharusnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”

[Riwayat Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Aisyah Radhiallahu’anhu berkata;

“Apabila Raslulullah Sallallahu’alaihiwsallam memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengetatkan ikat pinggangnya.”

Dalam beberapa hadis, Rasulullah Sallallahu’alaihiwsallam menyuruh dan menyokong perlaksanaan mujahadah dalam amal ibadah. Oleh itu, hendaklah kita semua menjadi orang pertama yang bergegas menyambut dan melaksanakan perintah tersebut.

Imam Bukhari meriwayatkan (antara lain);

“Daripada Abu Hurairah bahawa beliau berkata; Rasulullah Sallallahu’alaihiwsallam bersabda; “Sesungguhnya Allah berfirman; “Tidaklah seorang hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai selain daripada amalan-amalan wajib dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunat, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjadi pendengarannya, dan sebagai tangan yang digunakannya untuk memegang dan kaki yang dia pakai untuk berjalan, dan apabila ia memohon kepada-Ku pasti Aku kabulkan, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi.”

Jika anda – wahai saudaraku – sudah berusaha melakukan mujahadah, mencontohi Rasulullah Sallallahu’alaihiwsallam dan mengikuti jejak generasi para salaf, maka saya yakin anda telah melangkah menuju takwa, menapaki perjalanan rohani dan akan sampai ke darjat para muttaqin.

Kesimpulannya – wahai saudaraku – itulah beberapa cara untuk menumbuh suburkan takwa dalam hati dan ruh setiap Mukmin serta menyatukannya dengan perasaannya.

Dengan mu’ahadah anda dapat beristiqamah di atas syariat Allah dan dengan muraqabah, anda dapat merasakan keagungan Allah baik di kala bersendirian mahupun di khalayak ramai.

Dengan muhasabah anda dapat bebas daripada tarikan hawa nafsu yang selalu memberontak, dan dapat memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia. Dengan mua’qabah anda dapat menyelamatkan diri anda daripada penyimpangan.

Dengan mujahadah anda dapat memperbaiki aktiviti anda dan sekaligus menundukkan sifat malas dan lalai. Dengan cara tersebut, taqwa akan menjadi sebati dan mendarah daging (malakah) dengan diri anda dan akan menjadi akhlak anda yang sebenarnya.

Bahkan anda akan sampai ke puncak kemuliaan dan keutamaan, anda akan sampai ke darjat yang paling tinggi. Anda akan mampu memberi suri teladan kepada orang lain dalam ucapan, perbuatan dan kemantapan rohani.

Rujukan:

Tarbiah Ruhiah, Petunjuk Praktikal Mencapai Darjat Takwa, Dr. Abdullah Nasih Ulwan.

[1] Imam Ibnu Qayyim ketika memperkatakan tentang tahap-tahap jihad, memulakannya dengan jihad melawan nafsu untuk mempelajari kebenaran, kemudian jihad beramal dengan kebenaran , kemudian jihad untuk bersabar di atas bebanan amal tersebut.

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button