MUQADDIMAH
UNTUK mendapatkan kemanisan iman, seseorang harus memberikan kecintaannya (mahabbah) kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan sentiasa menyempurnakan cintanya, mengembangkannya hingga ke cabang-cabangnya dan melawan hal-hal yang bertentangan dengannya.
Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya harus lebih diutamakan daripada godaan dunia dengan cara redha kepada Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya, dan Muhammad sebagai Rasulnya. Implikasinya beliau dapat menikmati manisnya iman dalam amal-amal ketaatannya, bahkan juga dapat menikmati manisnya ketika memikul bebanan berat di jalan Allah SWT.
PENJELASAN LANJUT
Bagaimana seseorang dapat merasakan kemanisan iman?
Bermula seseorang itu akan merasakan kemanisan iman apabila di dalam hatinya terdapat rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya. Manisnya akan semakin dirasakan bila seseorang berusaha untuk sentiasa menyempurnakan cintanya kepada Allah, memperbanyakkan amal cabang-cabangnya (amalan yang dicintai oleh Allah Subhanahuwata’ala) dan menangkis hal-hal yang bertentangan dengan kecintaan kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Apa buktinya bila seseorang telah merasakan manisnya Iman?
Buktinya, ia akan selalu mengutamakan kecintaanya kepada Allah daripada mementingkan kesenangan dan kemegahan dunia. Contoh kesenangan dunia ialah bersenang-senang dengan keluarga, besenang-senang tinggal di rumah tanpa menyahut seruan dakwah dan asyik dengan bisnesnya tanpa ada penglibatan sedikitpun dengan kegiatan jihad di jalan Allah Subhanahuwata’ala, sebagaimana firman Allah dalam surah At-Taubah : 24:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ
Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khuatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang fasik. (Surah At-Taubah : 24)
Mengutamakan kecintaan kepada Allah akan melahirkan perasaan redha.
Bila seseorang sentiasa mengutamakan kecintaan kepada Allah, Rasul dan berjihad di jalan-Nya, daripada kepentingan dirinya sendiri, maka akan lahirlah sikap redha terhadap Allah sebagai Rabbnya, I
sla sebagai din-nya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Keredhaannya itu dibuktikan dengan selalu menghadiri halaqahnya, terlibat dengan kegiatan dakwah dalam lingkungannya dan menginfakkan sebahagian harta dan waktunya untuk kemaslahatan menegakkan din Allah Subhanahuwata’ala.
Apa yang dirasakan oleh seseorang bila ia telah redha terhadap Allah, Agama (Din) dan Rasul-Nya?
Pertama : Dia akan merasakan “Istildzadz at-thaa’ah”, lazatnya mentaati Allah, baik dalam solatnya, tilawah al-Qur’annya, pakaiannya dan pergaulan Islaminya, ketika berkumpul dengan orang soleh dan ketika bersama dalam angkatan dakwah.
Kedua : Ia juga akan merasakan “Istildzadz al-masyaqat”, lazatnya menghadapi berbagai kesulitan dan kesusahan di jalan dakwah. Kelelahan, keletihan dan hal-hal yang menyakiti perasaannya akibat celaan orang kerana menjalankan din Islam, atau ketika mengalami kecederaaan fizikal – semua itu semakin membuatnya rasa nikmat untuk terus berdakwah. Semua itu sentiasa melahirkan manisnya iman.
“Istildzaadz at-thaa’ah”, lazatnya ketaatan kepada Allah dipersaksikankan oleh wanita Ansar dan Muhajirin, tatkala turun wahyu yang memerintahkan mereka untuk berhijab dan menutup auratnya, maka mereka terus laksanakan dengan senang hati dan lapang dada, tanpa merasa berat sedikit pun. Aisyah Radhiallahu’anha yang menjadi saksi atas hal ini berkata :
رَحِمَ الله ُنِسَاءَ اْلاَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَاتِ لَمَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِنَّ ”وَلْيَضْرِبْنَ مِنْ جَلاَ بِيْبِهِنَّ عَلَى جُيُوْ بِهِنَّ“ شَقَقْنَ مُرُوْطَهُنَّ فَلْيَخْتَمِرْنَ بِهَا
Semoga Allah merahmati wanita Ansar dan Muhajirin, tatkala turun kepada mereka ayat “hendaknya mereka mengenakan kain panjang (jilbab) sampai ke atas dada mereka,” mereka memotong kain-kain mereka, lalu mereka menjadikan kain-kain itu sebagai penutup kepalanya
Abu Ayub Al-Ansary, ketika mendengar seruan jihad. Dalam At-Taubah: 41.
ٱنفِرُواْ خِفَافٗا وَثِقَالٗا وَجَٰهِدُواْ بِأَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Surah At-Taubah : 41)
Abu Ayub berseru kepada anak-anaknya, “Jahhizuuny! Jahhizuuny!” siapkan peralatan perangku!. Anak-anaknya memujuk agar bapanya tidak perlu berangkat untuk berjihad, karana usianya sudah uzur, cukup diwakilkan saja oleh anak-anaknya. Abu Ayub menolak pujukan anak-anaknya seraya berkata : “ketahuilah wahai anak-anakku, yang dimaksud ayat tersebut adalah خِفَافًالَكُمْ وَثِقَالاً لٍي , ringan bagi kamu berat bagiku, beliau pun tetap berangkat dan menemukan syahidnya dalam perjalanan jihad tersebut. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Lazatnya kesulitan (Istildzadz al-masyaqqah) dalam dakwah dirasakan oleh Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam, ketika baginda menghadapi tentangan orang kafir terhadap ajaran Islam sebagaimana yang ditunjukan oleh masyarakat Thaif ketika Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam berhijrah ke sana. Ketika baginda menyampaikan dakwahnya, mengajak mereka untuk menerima ajaran Islam, didapati tiada sedikit pun sambutan baik daripada para tokoh mereka. Bahkan dengan nada yang sangat menyakitkan, mereka menanggapi dakwah baginda dengan berkata: Cuba kau robek kiswah ka’bah jika engkau memang benar-benar utusan Allah.
Ada yang berkomentar: Apa tidak ada lagikah orang yang lebih wajar diutuskan oleh Allah selain engkau?
Dengan penuh kesabaran dan ketabahan Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam menerima kenyataan pahit tersebut. Baginda tetap berlapang dada dan tidak menganggap penolakan dan penentangan mereka sebagai permasalahan yang besar. Oleh karena itu ketika malaikat penjaga gunung menawarkan kepada baginda, jikalah baginda setuju, dia akan mengangkat dua buah bukit yang ada di Thaif, lalu ditimpakan kepada mereka. Akan tetapi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam membalas:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Tetapi aku berharap semoga Allah mengeluarkan daripada tulang rusuk mereka kelak orang (generasi) yang beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun.
Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamroh mengibaratkan manisnya iman sebagai sebuah pohon sebagaimana firman Allah :
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ ضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلٗا كَلِمَةٗ طَيِّبَةٗ كَشَجَرَةٖ طَيِّبَةٍ أَصۡلُهَا ثَابِتٞ وَفَرۡعُهَا فِي ٱلسَّمَآءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Surah Ibrahim : 4)
Yang dimaksud kalimah dalam ayat tersebut adalah kalimatul ikhlas لا اله الا الله, batang pohonnya adalah pangkal iman, cabang dan rantingnya adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, dedaunannya adalah keprihatinan terhadap kebajikan manusia, buahnya adalah amal ketaatan, rasa manisnya adalah ketika memetiknya, dan puncak manisnya adalah ketika kematangannya sempurna untuk dipetik. Disitulah akan terasa sangat manisnya.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ: مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ . رواه البخاري ومسلم وهذا لفظ مسلم
Daripada Anas Radhiallahu’anhu, daripada Nabi Sallallahu’alaihiwasallam, bersabda, “Tiga perkara jika kamu memilikinya, maka akan didapati manisnya iman. (Pertama) orang yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selainnya. (Kedua) mencintai seseorang semata-mata karena Allah. (Ketiga), tidak suka kembali kepada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah, sebagaimana tidak sukanya dilemparkan ke dalam api neraka. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
عَنْ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ذَاقَ طَعْمَ الإِيْمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً
رواه مسلم
Daripada Al-Abbas bin Abdil Muttalib, bahawasanya bwliau mendengar Rasulallah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Telah merasakan lazatnya iman seseorang yang redha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai dinnya dan Muhammad sebagai Rasulnya. (Riwayat Muslim)
Hadith ini sangat agung maknanya termasuk mengenai dasar-dasar Islam. Berkata para ulama, “Erti daripada manisnya iman adalah merasakan lazatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan demi mencapai redha Allah dan Rasul-Nya, dan lebih mengutamakan redha-Nya daripada kesenangan dunia, dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.”…
Dalam hadith tersebut Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam menjelaskan bahawa ada tiga perkara, apabila seseorang dalam keadaan sedemikian maka dia akan merasai manisnya iman. Barangsiapa mencintai sesuatu dan bergelora cintanya maka ketika berhasil mendapatkannya, ia akan merasai manis dan gembira.
Bagi seorang mukmin yang telah mendapat kemanisan iman, seiring dengan kemanisan itu akan mencapai kesempurnaan cinta seorang hamba kepada Allah Subhanahuwata’ala. Dan kesempurnaan cinta itu dibuktikan dengan wujudnya tiga perkara:
Pertama : Menyempurnakan cintanya kepada Allah iaitu dengan cara menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada segala sesuatu yang lain.
Kedua : Menjadikan cintanya kepada Allah sebagai pokok kepada cabang-cabang cinta yang lain, seperti mencintai orang lain semata-mata kerana atau untuk Allah Subhanahuwta’ala (dan sentiasa mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah). Jauh daripada cinta yang berindukkan hawanafsu.
Ketiga : Menolak segala hal yang bertentangan dengan cinta sucinya kepada Allah. Iaitu tidak menyukai (benci) akan hal-hal yang bertentangan dengan iman sepertimana (atau melebihi) kebenciannya jika dilemparkan ke dalam api neraka.
عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قاَلَ : ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ اْلِايْمَانِ :اَلاْنِفْاَقُ مِنَ اُلاِقْتَارِ ، وَإِنْصَافُ النَّاسِ مِنْ نَفْسِكَ ، وَبذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ
(رواه عبد الرزاق علقه البخاري في كتاب الايمان)
Amar bin Yasir berkata, Ada tiga hal yang barangsiapa ada dalam dirinya, akan merasakan manisnya iman (iaitu) berinfaq daripada bersifat kikir, bersikap adil terhadap manusia daripada dirinya, dan mengusahakan keselamatan (kesejahteraan) untuk alam. (Diriwayatkan oleh AbdurRazzaq. Al-Bukhari mencantumkannya di kitab Al-Iman).
Riwayat yang dibawakan oleh Amar bin Yasir Radhiallahu’anhu tersebut di atas, juga menjelaskan tentang tiga hal yang dapat mendatangkan manisnya iman
Pertama : Berinfaq secukupnya, tidak berlebihan sehingga mengabaikan hak-hak yang lainnya dan tidak juga kikir atas hartanya.
Kedua : Bersikap objektif, tidak menghalanginya untuk berbuat baik dan adil kepada manusia walaupun ada kaitannya dengan kepentingan diri sendiri, misalnya walaupun disakiti dan dizalimi oleh seseorang, namun tidak menghalanginya untuk memaafkannya dan tetap berbuat baik.
Ketiga : Menyebarkan kesejahteraan kepada seluruh alam semesta, memperjuangkan sesuatu demi kebaikan manusia dan seluruh makhluk lainnya, seperti melakukan kegiatan misi kemanusiaan.
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ * وَالْغَضُّ عَنِ الْمَحَارِمِ يُوْجِبُ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ، وَمَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ، وَمَنْ أَطْلَقَ لَحَظَاتِهِ دَامَتْ حَسَرَاتُهُ.
Katakanlah kepada mukmin laki-laki agar menahan pandangan mereka…(An-Nur: 30). Iaitu menahan daripada apa yang diharamkan Allah, pasti akan mendatangkan manisnya iman, dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu kerana Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik daripadanya, dan barangsiapa yang membebaskannya, walaupun hanya sekejap, maka akan abadi penyesalannya.
عن مُعَاذِ بن جَبَلٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَلاَ تَجِدُ امْرَأَةٌ حَلاَوَةَ الإِيْمَانِ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا عَلَى قَتَبٍ.“ المعجم الكبير للطبراني
Daripada Muadz bin Jabal berkata : Rasulullah Sallallahu’alaihiwasallam bersabda : Seandainya aku memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka akan aku perintahkan isteri sujud kepada suaminya, kerana hak-hak suami atasnya, dan tidaklah seorang wanita mendapatkan manisnya iman sehingga ia menunaikan hak suaminya, walaupun suaminya memintanya, sedangkan ia sedang berada di atas sekedupnya.
قاَلَ اِبْنُ رَجَبْ فِي فَتْحِ الْبَارِي: 1/27: فَإِذَا وَجَدَ اْلقَلْبُ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ أَحَسَّ بِمَرَارَةِ اْلكُفْرِ وَاْلفُسُوْقِ وَاْلعِصْيَانِ وَلِهَذَا قَالَ يُوْسُفُ عَلَيْهِ السَّلاَم ُ: {رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ – يوسف33
Ibnu Rajab berkata dalam kitab Fathul Bari 1/27 : Maka apabila sebilah hati telah mendapatkan manisnya iman, maka ia akan sensitif merasakan pahitnya kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan, kerana itulah Nabi Yusuf AS berkata : Ya Rabb! Penjara lebih aku sukai daripada apa yang mereka serukan kepadaku (Surah Yusuf : 33).
Rujukan:
Rasm Bayan